Dalam kondisi yang memperihatinkan
tersebut, ayah Rabi'ah terpekur dan termenung sampai kemudian tertidur
dan mimpi berjumpa Rasulullah SAW berkata: "Janganlah kau bersedih hati
karena putrimu yang baru lahir itu kelak akan menjadi orang yang
terhormat dan tujuh puluh ribu dari umatku membutuhkan syafa'atnya."
Dalam mimpi tersebut Nabi juga memberi perintah agar besok menemui Isa
Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan
Rasulullah SAW seperti yang diperintahkan dalam mimpinya: "Hai Amir,
engkau biasanya membaca salawat seratus kali setiap malam dan empat
ratus kali tiap malam Jum'at, tetapi dalam Jum'at terakhir ini engkau
lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat
ratus dinar kepada yang membawa surat ini sebagai kafarat atas
kelalaianmu.”[3]
Pada pagi harinya, ayah Rabi'ah menulis
sepucuk surat seperti yang dipesankan Rasulullah SAW dan pergi menemui
amir. Karena ia tidak bisa bertemu langsung dengan amir, maka ia
menyerahkannya kepada pengawal istana. Ketika amir membacanya, ia segera
memerintahkannya untuk menyerahkan empat ratus dinar. Namun segera ia
membatalkan perintah tersebut seraya berkata; "Biarlah saya sendiri yang
menyerahkan uang ini sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim
pesan Rasulullah.”[4]
Salah satu ulama yang semasa dengan
Rabi'ah adalah Sufyan Tsauri (w. 161 H). Sufyan adalah ulama hadis yang
sangat 'alim pada saat itu. Di kalangan kaum muslimin ia dianggap
sebagai ulama yang paling ahli dalam beribadah, namun dalam kenyataannya
ia masih juga datang ke rumah Rabi'ah untuk mendapatkan nasehat dan
hikmah yang diajarkannya, atau datang dalam majlis ilmiah yang diadakan
oleh Rabi'ah. Suatu ketika Sufyan Tsauri mohon kepada Rabi'ah, "Wahai
Rabi'ah, ajarkanlah kepada kami hikmah dan kebijaksanaan sebagaimana
yang Allah karuniakan kepadamu." Sufyan mengatakan demikian karena
mempunyai keyakinan bahwa hikmah yang dimiliki Rabi'ah berdasarkan ilham
yang datang dari sisi Allah.[5]
Apabila seseorang telah menjauhkan diri
dari keduniawian, maka Allah akan menganugerahkan hikmah yang dalam pada
dirinya. Lidahnya fasih dan ia mampu melihat cela serta cacat dunia,
mampu mengetahui penyakit yang melanda keimanan umat dan tahu obatnya.
Menurut Sufyan, orang yang terhindar dari kesenangan duniawi akan
menjadi orang yang pendek angan‑angannya, ia tidak suka memakai pakaian
yang mewah dan mahal. Dalam nasehatnya kepada Sufyan, Rabi'ah berkata:
"Wahai Sufyan, hidup ini hanya sejenak. Bila hari ini telah berlalu,
akan berlalu pula sebagian yang lain, dan sebagian lagi kemudian
berlalu, akhirnya semuanya akan pergi, dan tentu engkau sudah maklum,
maka bersiaplah”.[6]
Rabi'ah telah banyak memberikan fatwa
kepada murid‑muridnya, sahabatnya sesama sufi, maupun kepada para
kerabatnya. Salah satu ucapan Rabi'ah yang terkenal, yang dikutip dari
Shahifah al‑Shaffah karya Ibn Jawzi adalah: "Aku memohon ampun kepada
Allah atas kurangnya ketulusan dan keikhlasanku dalam memohon
ampunan-Nya”.[7]
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa
Rabi'ah terus menerus menangis dan meratap. Orang‑orang pun bertanya
kepadanya: "Secara alamiah, tangisan ini tampak tidak jelas dan tidak
beralasan sama sekali, namun mengapa engkau menangis?". Rabi'ah
menjawab: "Jauh dalam lubuk hatiku ada penyebab dan alasan bagi
kesusahan dan deritaku. Tidak seorang pun dokter bisa menyembuhkan
penyakit ini. Satu‑satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini
adalah bersatu dengan "Kekasih". Dengan berduka seperti ini aku
berharap semoga kelak aku akan meraih apa yang aku cari. Aku berupaya
meniru keadaan mereka yang benar‑benar diburu‑buru oleh cinta Ilahi agar
aku tidak dipandang kurang oleh mereka.”
Menurut Rabi'ah, kepatuhannya kepada
Allah bukanlah tujuan sebab ia tidak mengharap surga atau takut akan
siksa neraka, akan tetapi ia mematuhi‑Nya karena cinta kepada‑Nya. Dan
ini adalah peringkat tertinggi dalam tasawuf, juga bagi para sufi
setelahnya. Pendapat ini tercermin dalam syair sebagai berikut:
Tuhanku,
sekiranya aku beribadah kepada‑Mu
karena takut neraka‑Mu
biarlah diriku terbakar api jahannam
Dan sekiranya aku beribadah kepada‑Mu
karena mengharap surga‑MU
jauhkan aku darinya
Tapi sekiranya aku beribadah kepada‑Mu
hanya senmata‑mata cinta pada‑Mu
jangan Engkau halangi aku melihat
keindahan‑Mu yang abadi[8]
Pernah Rabi'ah jatuh sakit, sehingga ia
tidak bisa bangun malam untuk beribadah. Mengenai sakitnya, Rabi'ah
berkata: "Aku waktu itu amat menderita sehingga aku tidak mampu berdiri
untuk shalat di malam hari. Oleh karena itu, berhari‑hari aku hanya
membaca al‑Qur'an di siang hari. Inilah antara lain ibadah yang dapat
mengangkat derajat orang, baik di dunia maaupun di akherat. Ibadah juga
memberikan ketentraman dan ketenangan jiwa. Dengan amal ibadahnya, wajah
Rabi'ah selalu kelihatan berseri‑seri karena orang yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah dengan tahajjud akan mendapatkan limpahan
cahaya Ilahi. Ibadah shalat merupakan suatu pernyataan keindahan batin
manusia untuk mendapatkan jawaban atas hakekat hidup dalam alam yang
sunyi, dan sebagai penghubung dirinya sebagai ego dengan Ego Mutlak.[9]
Diterangkan oleh Jawad, bahwa Rabi'ah
menggali kuburnya sendiri di rumah. Rabi'ah biasa berdiri di samping
lubang kubur tersebut pagi dan sore hari sambil berkata, "Besok engkau
pasti berada di sini." Kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40
tahun ia memelihara kebiasaan ini hingga wafatnya.
Perilaku demikian menunjukkan bahwa
Rabi'ah ingin segera bertemu dengan Kekasihnya, dan itu akan
dijumpainya pada saat ruhnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu,
perilaku demikian akan menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia
harus diisi dengaan aktifitas sebagai bekal kehidupan di akherat kelak.
Demikianlah pengalaman beragama yang telah sampai pada pengalaman ruhani
dalam kehidupan Rabi’ah. Semoga kita bisa meneladani kecintaan Rabi’ah
kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.
(Penulis adalah Koordinator Bidang
Kesehatan PP Fatayat NU periode 2010-2015, dosen tetap Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
[1]Nama tersebut merupakan nama julukan (kunyah). Lihat lanjut lihat
Thaha Baqi Abdul al-Surur, Rabi’ah al-Adawiyah, (Kairo: dar Fikri Arbi,
1957), hal. 38. al‑Taftazani, Sufi dan Zaman ke Zaman., hal. 82. Dalam
literatur lain disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Rabi'ah bin
Ismail al‑Adawiyah al‑Qisysyiyah. Lihat Tim Penyusun Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam IV, (Jakarta: PT Ikhtiyar Van Hoeve, cet. II, 1994)
hal. 148. Qondil menambahkan bahwa ia diberi nama Rabi'ah, karena
merupakan anak ke empat dari keluarga Ismail. Nama tersebut sangat
sederhana. Hal ini terkait erat dengan keinginan Ismail dan isterinya
untuk mendapatkan anak laki‑laki yang nantinya dapat dijadikan tumpuhan
harapan keluarga, apalagi dikaitkan dengan masa tersebut, anak laki‑laki
merupakan nilai tersendiri, karena dapat membantu orang tua.
[2] Fariduddin al‑'Attar, 'Tadzkirah al‑Auliya', diedit oleh A.J.
Arberry, alih bahasa Anas Mahyuddin, Warisan Para Auliya', (Bandung:
Pustaka, cet. I, 1983), hal. 48.
[3] Javad Nurbakhsh, 'Sufi Women', hal. 26‑27, Atiyah Khamis, Rabi’ah
al-Adawiyah, alih bahasa: Aliudin Mahjudin, (Jakarta: Pustaka Firdausi,
1994), hal. 7, al-Surur, Rabi’ah al-Adawiyah………., hal. 3
[4] Atiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, alih bahasa: Aliudin Mahjudin, (Jakarta: Pustaka Firdausi, 1994)
[5] Fariduddin al-Attar. Tadzkirah al-Auliya,.hal. 60-61
[6] Abdul Mu’in Qandil, Rabi’ah al-Adawiyahm terjemah: Royhan
Abdullah dan Muhammad Sufyan Amrullah, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1995)
[7] Javad Nurbakhsh, Wanita-wanita Sufi, hal. 58
[8] Fariduddin al‑Attar 'Tadzkirah al‑Auliya', hal, 64, Taftazani, Suf dan Zaman ke Zamant., hal. 86
[9]Budhi Munawar Rahman, “Pengalaman Religius dalam Logika Bahasa, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 6, Vol. II, hal. 84
fatayat.or.id
0 komentar:
Posting Komentar