Minggu, 04 November 2012

Rabiah Adawiyah : Tokoh Perempuan Sufi

munajatRabi'ah al‑Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al‑Khair bin Ismail al‑Adawiyah al‑Qisysyiyah[1]. Lahir di Basrah diperkirakan pada tahun 95 H. (717 M.). Menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi'ah dari suku Atiq, dan ayahnya bernama Isma'il. Diceritakan dalam sebuah literatur karya Fariduddin al‑Attar (w. 627 H.) bahwa pada malam kelahiran Rabi'ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Ismail. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu penerang. Di rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kain pun yang dapat digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir.[2] Isterinya minta agar Ismail pergi ke te­tangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi ayah Rabi'ah telah bersumpah bahwa ia tidak akan minta sesuatu pun dari manusia lain sehingga ia pura‑pura menyentuh rumah tetang­ganya lalu kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur sehingga tidak membukakan pintu.
Dalam kondisi yang memperihatinkan tersebut, ayah Rabi'ah terpekur dan termenung sampai kemudian tertidur dan mimpi berjumpa Rasulullah SAW berkata: "Janganlah kau bersedih hati karena putrimu yang baru lahir itu kelak akan menjadi orang yang terhormat dan tujuh puluh ribu dari umatku membutuh­kan syafa'atnya." Dalam mimpi tersebut Nabi juga memberi perintah agar besok menemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan Rasulullah SAW seperti yang diperintahkan dalam mimpi­nya: "Hai Amir, engkau biasanya membaca salawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali tiap malam Jum'at, tetapi dalam Jum'at terakhir ini engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hen­daklah engkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini sebagai kafarat atas kelalaianmu.”[3]
Pada pagi harinya, ayah Rabi'ah menulis sepucuk surat seperti yang dipesankan Rasulullah SAW dan pergi menemui amir. Karena ia tidak bisa bertemu langsung dengan amir, maka ia menyerahkannya kepada pengawal istana. Ketika amir membacanya, ia segera memerintahkannya untuk menyerahkan empat ratus dinar. Namun segera ia membatalkan perintah tersebut seraya berkata; "Biarlah saya sendiri yang menyerah­kan uang ini sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim pesan Rasulullah.”[4]
Salah satu ulama yang semasa dengan Rabi'ah adalah Sufyan Tsauri (w. 161 H). Sufyan adalah ulama hadis yang sangat 'alim pada saat itu. Di kalangan kaum muslimin ia dianggap sebagai ulama yang paling ahli dalam beribadah, namun dalam kenyataannya ia masih juga datang ke rumah Rabi'ah untuk mendapatkan nasehat dan hikmah yang diajarkannya, atau datang dalam majlis ilmiah yang diadakan oleh Rabi'ah. Suatu ketika Sufyan Tsauri mohon kepada Rabi'ah, "Wahai Rabi'ah, ajarkanlah kepada kami hikmah dan kebijaksanaan seba­gaimana yang Allah karuniakan kepadamu." Sufyan menga­takan demikian karena mempunyai keyakinan bahwa hikmah yang dimiliki Rabi'ah berdasarkan ilham yang datang dari sisi Allah.[5]
Apabila seseorang telah menjauhkan diri dari keduniawian, maka Allah akan menganugerahkan hikmah yang dalam pada dirinya. Lidahnya fasih dan ia mampu melihat cela serta cacat dunia, mampu mengetahui penya­kit yang melanda keimanan umat dan tahu obatnya. Menurut Sufyan, orang yang terhindar dari kese­nangan duniawi akan menjadi orang yang pendek angan‑angannya, ia tidak suka memakai pakaian yang mewah dan mahal. Dalam nasehatnya kepada Sufyan, Rabi'ah berkata: "Wahai Sufyan, hidup ini hanya sejenak. Bila hari ini telah berlalu, akan berlalu pula sebagian yang lain, dan sebagian lagi kemudian berlalu, akhirnya semuanya akan pergi, dan tentu engkau sudah maklum, maka bersiaplah”.[6]
Rabi'ah telah banyak memberikan fatwa kepada murid‑muridnya, sahabatnya sesama sufi, maupun kepada para kerabatnya. Salah satu ucapan Rabi'ah yang terke­nal, yang dikutip dari Shahifah al‑Shaffah karya Ibn Jawzi  adalah: "Aku memohon ampun kepada Allah atas kurangnya ketulusan dan keikhlasanku dalam memohon ampunan-Nya”.[7]
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Rabi'ah terus menerus menangis dan meratap. Orang‑orang pun bertanya kepadanya: "Secara alamiah, tangisan ini tampak tidak jelas dan tidak beralasan sama sekali, namun mengapa engkau menangis?". Rabi'ah menjawab: "Jauh dalam lubuk hatiku ada penyebab dan alasan bagi kesusahan dan deritaku. Tidak seorang pun dokter bisa menyembuhkan penyakit ini. Satu‑satunya obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini adalah bersatu dengan "Keka­sih". Dengan berduka seperti ini aku berharap semoga kelak aku akan meraih apa yang aku cari. Aku berupaya meniru keadaan mereka yang benar‑benar diburu‑buru oleh cinta Ilahi agar aku tidak dipandang kurang oleh mereka.”
Menurut Rabi'ah, kepatuhannya kepada Allah bukanlah tujuan sebab ia tidak mengharap surga atau takut akan siksa neraka, akan tetapi ia mematuhi‑Nya karena cinta kepada‑Nya. Dan ini adalah peringkat tertinggi dalam tasawuf, juga bagi para sufi setelah­nya. Pendapat ini tercermin dalam syair sebagai beri­kut:
Tuhanku,
sekiranya aku beribadah kepada‑Mu
karena takut neraka‑Mu
biarlah diriku terbakar api jahannam
Dan sekiranya aku beribadah kepada‑Mu
karena mengharap surga‑MU
jauhkan aku darinya
Tapi sekiranya aku beribadah kepada‑Mu
hanya senmata‑mata cinta pada‑Mu
jangan Engkau halangi aku melihat
keindahan‑Mu yang abadi[8]
Pernah Rabi'ah jatuh sakit, sehingga ia tidak bisa bangun malam untuk beribadah. Mengenai sakitnya, Rabi'ah berkata: "Aku waktu itu amat menderita sehing­ga aku tidak mampu berdiri untuk shalat di malam hari. Oleh karena itu, berhari‑hari aku hanya membaca al‑Qur'an di siang hari.  Inilah antara lain ibadah yang dapat mengangkat derajat orang, baik di dunia maaupun di akherat. Ibadah juga memberikan ketentraman dan ketenangan jiwa. Dengan amal ibadahnya, wajah Rabi'ah selalu kelihatan berseri‑seri karena orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan tahajjud akan mendapatkan limpahan cahaya Ilahi. Ibadah shalat merupakan suatu pernya­taan keindahan batin manusia untuk mendapatkan jawaban atas hakekat hidup dalam alam yang sunyi, dan sebagai penghubung dirinya sebagai ego dengan Ego Mutlak.[9]
Diterangkan oleh Jawad, bahwa Rabi'ah menggali kuburnya sendiri di rumah. Rabi'ah biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut pagi dan sore hari sambil berkata, "Besok engkau pasti berada di sini." Kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasaan ini hingga wafatnya.
Perilaku demikian menunjukkan bahwa Rabi'ah ingin segera bertemu dengan Kekasihnya, dan itu akan dijum­painya pada saat ruhnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu, perilaku demikian akan menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia harus diisi dengaan aktifitas sebagai bekal kehidupan di akherat kelak. Demikianlah pengalaman beragama yang telah sampai pada pengalaman ruhani dalam kehidupan Rabi’ah. Semoga kita bisa meneladani kecintaan Rabi’ah kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.
(Penulis adalah Koordinator Bidang Kesehatan PP Fatayat NU periode 2010-2015, dosen tetap Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta)


[1]Nama tersebut merupakan nama julukan (kunyah). Lihat lanjut lihat Thaha Baqi Abdul al-Surur, Rabi’ah al-Adawiyah,  (Kairo: dar Fikri Arbi, 1957), hal. 38. al‑Taftazani, Sufi dan Zaman ke Zaman., hal. 82. Dalam literatur lain disebutkan bahwa nama leng­kapnya adalah Rabi'ah bin Ismail al‑Adawiyah al‑Qisysyiyah. Lihat Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam  IV, (Jakarta: PT Ikhtiyar Van Hoeve, cet. II, 1994) hal. 148. Qondil menambahkan bahwa ia diberi nama Rabi'ah, karena merupakan anak ke empat dari keluarga Ismail. Nama terse­but sangat sederhana. Hal ini terkait erat dengan keingi­nan Ismail dan isterinya untuk mendapatkan anak laki‑laki yang nantinya dapat dijadikan tumpuhan harapan keluarga, apalagi dikaitkan dengan masa tersebut, anak laki‑laki merupakan nilai tersendiri, karena dapat membantu orang tua.
[2] Fariduddin al‑'Attar, 'Tadzkirah al‑Auliya', diedit oleh A.J. Arberry, alih bahasa Anas Mahyuddin, Warisan Para Auliya', (Ban­dung: Pustaka, cet. I, 1983), hal. 48.
[3] Javad Nurbakhsh, 'Sufi Women', hal. 26‑27, Atiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, alih bahasa: Aliudin Mahjudin, (Jakarta: Pustaka Firdausi, 1994), hal. 7, al-Surur,  Rabi’ah al-Adawiyah………., hal. 3
[4] Atiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, alih bahasa: Aliudin Mahjudin, (Jakarta: Pustaka Firdausi, 1994)
[5] Fariduddin al-Attar. Tadzkirah al-Auliya,.hal. 60-61
[6] Abdul Mu’in Qandil, Rabi’ah al-Adawiyahm terjemah: Royhan Abdullah dan Muhammad Sufyan Amrullah,  (Surabaya: Pustaka Progresif, 1995)
[7] Javad Nurbakhsh, Wanita-wanita Sufi, hal. 58
[8] Fariduddin al‑Attar 'Tadzkirah al‑Auliya',  hal, 64,  Taftazani, Suf dan Zaman ke Zamant., hal. 86
[9]Budhi Munawar Rahman, “Pengalaman Religius dalam Logika Bahasa, dalam  Jurnal Ulumul Qur’an, No. 6, Vol. II, hal. 84


fatayat.or.id

0 komentar:

Posting Komentar