(TENANGKAN HATIMU DARI URUSAN PENGATURAN DAN PENGURUSAN, KARENA APA YANG DIATUR OLEH SELAIN-MU TENTANG URUSAN DIRIMU, TIDAK PERLU ENGKAU CAMPUR TANGAN)
Kita
bertauhid melalui dua cara, pertama bertauhid dengan akal dan kedua
bertauhid dengan hati. Bidang akal ialah ilmu dan jangkauan ilmu sangat
luas, bermula dari pokok, kemudian kepada dahan-dahan dan seterusnya
kepada ranting-ranting. Setiap ranting ada ujungnya, yaitu
penyelesaiannya.
Ilmu
bersepakat pada perkara pokok, berangsur berbeda pada cabangnya dan
berselisih pada rantingnya atau penyelesaiannya. Jawaban suatu masalah
selalu berubah-ubah menurut pendapat yang lebih benar yang baru ditemui.
Apa yang dianggap benar pada permulaanya bisa jadi dipersalahkan pada
ujungnya. Oleh karena ilmu bersifat demikian, maka orang awam yang larut
membahas suatu perkara bisa jadi mengalami kekeliruan dan kekacauan
pikiran. Salah satu perkara yang mudah mengganggu pikiran ialah soal takdir atau Qada (ketetapan Allah sejak azali) dan Qadar
(perwujudan ketetapan Allah itu). Jika persoalan ini dibahas hingga
kepada persoalan yang lebih detil lagi, seseorang akan menemui kebuntuan
karena ilmu tidak akan mampu memberikan jawaban yang konkrit.
Qada
dan Qadar diimani dengan hati. Tugas ilmu ialah membuktikan kebenaran
apa yang diimani. Jika ilmu bertindak menggoyangkan iman maka ilmu itu
harus disekat dan hati harus dibawa tunduk dengan iman. Kalimat Hikmah
keempat di atas membimbing ke arah itu agar iman tidak dicampur dengan
keraguan.
Selama
nafsu dan akal menjadi hijab, beriman kepada perkara ghaib dan menyerah
diri secara menyeluruh tidak akan dicapai. Qada dan Qadar termasuk
dalam perkara ghaib. Perkara ghaib disaksikan dengan mata hati atau basirah.
Mata hati tidak dapat memandang jika hati dibungkus oleh hijab nafsu.
Nafsu adalah kegelapan, bukan kegelapan lahir tetapi kegelapan dalam
keghaiban.
Kegelapan
nafsu itu menghijab sedangkan mata hati memerlukan cahaya ghaib untuk
melihat perkara ghaib. Cahaya ghaib yang menerangi alam ghaib adalah
cahaya ruh karena ruh adalah urusan Allah. Cahaya atau nur hanya
bersinar apabila sesuatu itu ada perkaitan dengan Allah.
Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi. ( Ayat 35 : Surah an-Nur )
Dialah
Yang Maha Tinggi derajat kebesaran-Nya, yang mempunyai Arasy (yang
melambangkan keagungan dan kekuasaan-Nya); Ia memberikan wahyu
perintah-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya (yang telah dipilih menjadi Rasul-Nya), supaya Ia
memberi peringatan (kepada manusia) tentang hari pertemuan, - ( Ayat 15 : Surah al-Mu’min )
Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu (wahai Muhammad) – Al-Quran sebagai
ruh (yang menghidupkan hati) dengan perintah Kami; engkau tidak pernah
mengetahui (sebelum diwahyukan kepadamu); apakah Kitab (Al-Quran) itu,
dan tidak juga mengetahui apakah iman itu; akan tetapi Kami jadikan
Al-Quran cahaya yang menerangi, Kami beri petunjuk dengannya siapa yang
Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau
(wahai Muhammad) membimbing dengan Al-Quran itu ke jalan yang lurus, -
yaitu jalan Allah yang memiliki dan menguasai perkara yang ada di langit
dan di bumi. Kepada Allah jualah kembali segala urusan. ( Ayat 52 & 53 : Surah asy-Syura )
Apabila cahaya ruh berhasil menghalau kegelapan nafsu, mata hati akan menyaksikan yang ghaib. Persaksian atau musyahadah mata hati membawa hati beriman kepada perkara ghaib dengan sebenar-benarnya.
Allah telah menghamparkan jalan yang lurus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia berfirman:
Pada
hari ini, Aku telah sempurnakan bagimu Diinmu, dan Aku cukupkan
nikmat-Ku kepadamu, dan Aku telah ridhakan Islam itu menjadi Diinmu. ( Ayat 3 : Surah al-Maa’idah )
Umat
Islam (yang mengamalkan ajaran Islam dengan sempurna) adalah umat
terbaik karena Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada mereka
dengan mengaruniakan Islam. Allah menjamin juga bahwa Dia ridha menerima
Islam sebagai Diin (aturan hidup) mereka. Jaminan Allah itu sudah cukup
bagi mereka yang menuntut keridhaan Allah untuk tidak menoleh ke kiri
atau ke kanan, sebaliknya terus berjalan mengikut landasan yang telah
dibangun oleh Islam.
Islam
adalah pelembagaan yang lengkap mencakupi semua aspek kehidupan baik
yang lahir maupun yang batin. Islam telah menjelaskan apa yang mesti
diperbuat, apa yang mesti tidak diperbuat, bagaimana bertindak
menghadapi sesuatu dan bagaimana jika tidak melakukan apa-apa. Segala
peraturan dan etika sudah dijelaskan dari perkara yang paling kecil
hingga kepada yang paling besar. Sudah dijelaskan cara beribadah, cara
berhubungan sesama manusia, cara membagikan harta pusaka, cara mencari
dan membelanjakan harta, cara makan, cara minum, cara berjalan, cara
mandi, cara memasuki jamban, cara melaksanakan hukum qisas, cara melakukan hubungan seksual, cara menyempurnakan mayat dan semua aspek kehidupan diterangkan dengan jelas.
Umat Islam sebenarnya tidak perlu bertengkar tentang penyelesaian
terhadap suatu masalah. Segala penyelesaian telah dibentangkan, hanya
tegakkan iman dan rujuk kepada Islam itu sendiri niscaya segala
pertanyaan akan terjawab. Begitulah besarnya nikmat yang dikaruniakan
kepada umat Islam. Kita perlu menjiwai Islam untuk merasakan nikmat yang
dikaruniakan itu. Kewajiban kita ialah melakukan apa yang telah Allah
atur sementara hak mengatur atau mentadbir adalah hak Allah yang mutlak.
Jika terdapat peraturan Allah yang tidak disetujui oleh nafsu kita,
janganlah mengubah peraturan tersebut atau membuat peraturan baru,
sebaliknya nafsu hendaklah ditekan supaya tunduk kepada peraturan Allah.
Jika pendapat akal sesuai dengan Islam maka yakinilah akan kebenaran
pendapat tersebut, dan jika penemuan akal berlainan dengan Islam maka
akuilah bahwa akal telah khilaf di dalam penemuannya. Jangan memaksa
Islam supaya tunduk kepada penemuan akal yang bersifat relatif , tetapi
tundukkan akal kepada aturan Islam.
Orang yang mengamalkan tuntutan Islam disertai dengan beriman kepada Qada dan Qadar,
jiwanya akan sentiasa tenang dan damai. Putaran roda kehidupan tidak
membolak-balikkan hatinya karena dia melihat apa yang berlaku adalah
menurut apa yang mesti berlaku. Dia mengamalkan ajaran terbaik yang
telah dijamin oleh Allah. Hatinya tunduk kepada hakikat bahwa Allah yang
mengatur dan mengurus, sementara seluruh hamba berkewajiban taat
kepada-Nya, tidak perlu ikut campur dalam urusan-Nya.
Mungkin
timbul pertanyaan apakah orang Islam tidak boleh menggunakan akal
pikiran, tidak boleh mengurus kehidupannya dan tidak boleh berusaha
memperbaiki kehidupannya? Apakah orang Islam mesti menyerah bulat-bulat
kepada takdir tanpa usaha?
Allah menceritakan tentang urusan orang yang beriman:
Maka
Yusuf pun mulai memeriksa tempat-tempat barang mereka, sebelum
memeriksa tempat barang saudara kandungnya (Bunyamin), kemudian ia
mengeluarkan benda yang hilang itu dari tempat simpanan barang saudara
kandungnya. Demikianlah Kami sukseskan rencana untuk (menyampaikan
hajat) Yusuf. Tidaklah ia akan dapat mengambil saudara kandungnya
menurut undang-undang raja, kecuali jika dikehendaki oleh Allah. (Dengan
ilmu pengetahuan), Kami tinggikan pangkat kedudukan siapa saja yang
Kami kehendaki; dan tiap-tiap yang berilmu pengetahuan, ada lagi di
atasnya yang lebih mengetahui. (Ayat 76 : Surah Yusuf )
Dan kepunyaan-Nya jualah kapal-kapal yang berlayar di lautan laksana gunung-gunung. (Ayat 24 : Surah ar-Rahmaan )
Nabi
Yusuf a.s, dengan kepandaiannya, mengadakan muslihat untuk membawa
saudaranya, Bunyamin, tinggal dengannya. Kepandaian dan muslihat yang
pada lahirnya diatur oleh Nabi Yusuf a.s tetapi dengan tegas Allah
mengatakan Dialah yang mengatur muslihat tersebut dengan kehendak dan
kebijaksanaan-Nya. Kapal yang pada lahiriahnya dibangun oleh manusia
tetapi dengan tegas Allah mengatakan kapal itu adalah kepunyaan-Nya.
Ayat-ayat di atas memberi pengajaran mengenai “usaha” yang dilakukan
oleh manusia.
Rasulullah
s.a.w sendiri menganjurkan agar pengikut-pengikut baginda s.a.w
mengurus kehidupan mereka. Akan tetapi, usaha yang disarankan oleh
Rasulullah s.a.w ialah usaha yang tidak memutuskan hubungan dengan
Allah, tidak berpaling dari tawakal dan penyerahan kepada Allah yang
mengatur dan mengurus terlaksananya sesuatu. Janganlah seseorang
menyangka apabila dia menggunakan otaknya untuk berpikir maka otak itu
berfungsi dengan sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Dari mana datangnya
ilham yang diperoleh otak itu jika tidak dari Allah? Allah lah yang
telah membuat otak, membuatnya berfungsi dan Dia juga yang mendatangkan
buah pikiran kepada otak itu.
Usaha
yang dianjurkan oleh Rasulullah s.a.w ialah usaha yang sesuai dengan
al-Quran dan as-Sunah. Islam hendaklah dijadikan penyaring untuk mencari
pendapat dan tindakan yang benar dari yang salah. Islam menegaskan
bahwa sekiranya tidak ada daya dan upaya dari Allah, pasti tidak ada
apapun yang dapat dilakukan oleh siapapun. Oleh karena itu, seseorang
mestinya menggunakan daya dan upaya yang dikaruniakan Allah kepadanya di
jalan yang diridhai Allah. Seorang hamba Allah tidak sepatutnya
melepaskan diri dari penyerahan kepada Allah Yang Maha Mengatur. Apabila
apa yang ditakdirkan-Nya sukses menjadi kenyataan maka dia akui bahwa
kesuksesannya itu adalah karena persesuaian usahanya dengan kehendak
Allah. Jika apa yang usahakannya tidak sukses, harus diakui pula bahwa
usahanya wajib tunduk kepada aturan Allah dan ketidak suksesannya itu
juga termasuk di dalam pengaturan Allah. Hanya Allah lah yang berhak
untuk menentukan. Allah Maha Berdiri Sendiri, tidak ada siapapun yang
mampu campur tangan dalam urusan-Nya.
Bersambung.....
http://pencaricintaillahi.blogspot.com/2009/01/kajian-kitab-al-hikam-karya-syekh-ibnu.html
0 komentar:
Posting Komentar