Di Postkan Oleh : Arifin
Mahasiswa STAI AL QOLAM
Gondanglegi Malang
05-11-2012, 11.55
PASAL PERTAMA
HADITS, SUNNAH DAN ISTILAH-ISTILAH LAIN
HADITS, SUNNAH DAN ISTILAH-ISTILAH LAIN
Hadits dan Sunnah
Hadits dan Sunnah memiliki pengertian yang sama, masing-masing
berkaitan dengan ucapan, perbuatan atau penetapan Nabi SAW. Hadits sebagaimana
tinjaun Abdul Baqa’ adalah kalimat isim(kata benda) dari tahdits yang berarti
penbicaraan, kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan
yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Sunnah
pada dasarnya tidak sama dengan Hadits. Mengikuti arti bahasanya, Sunnah
adalah jalan keagamaan yang bditempuh oleh Nabi SAW. Tercermin pada perilakunya
yang suci. Apabila Hadits bersifat umum, meliputi sabdadan perbuatan Nabi, maka
Sunnah berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.
Madinah Al-Munawwarah seperti yang kita ketahui adalah kota yang
paling bersemangat membela sunnah Nabi, sampai-sampai mendapat mendapat sebutan
Dar As Sunnah(negeri sunnah). Di kota suci inilah muncul pertama kali
pengggggertian As Sunnah, menemukan bentuknya yang bersifat sosial
politik, disamping bentuk keagamaan yang
fundamental.
Khabar dan Atsar
Dibanding dengan Sunnah, khabar lebih layak menjadi sinonim dari
Hadits. Sebab tahdits(pembicaraan) artinya tidak lain adalah
ikhbar(pemberitaan). Hadits Nabi adalah berita yang disandarkan pada beliau,
hanya saja nama ikhbari yang digunakan untuk menyebut orang yang menekuni
tarikh-tarikh dan semisalnya, sedangkan muhaddits diberikan pada orang yang
secara khhusus menekuni Sunnah. Antara khabar dan Hadits ada pengertian umum
dan khusus, setiap Hadits adalah Khabar tetapi tidak sebaliknya.
Atsar searti dengan khabar, sunnah Dan hadits. Tidak ada alasan
mengkhususkan atsar hanya untuk apa yang disandarkan kepada
sahabat(mauquf) atau tabi’in(maqthu’).
Sebab mauquf ataupun maqthu’ itupun riwayat, seperti halnya apa yang
disandarkan pada Nabi SAW. (marfu’). Hnya saja, yang mauquf dinisbatkan kepada
sahabat, maqthu’ kepada tabi’in dan marfu’ kepada Nabi SAW.
Hadits Qudsi
Kepada sahabatnya kadang Nabi SAW. Memberikan nasehat yang beliau
terima dari Tuhan. Tetapi bukan wahyu yang kemudian disebut Alqur’an, bukan
pula ucapan yang disandarkam kepada beliau yang kemudian disebut hadits,
melainkan hadits-hadits yang oleh Nabi lebih suka dinyatakan ungkapan yang
menunjukkannya sebagai firman Allah. Itulah hadits qudsi yang disebut juga
hadits ilahi atau robbani.
PASAL KEDUA
SEKITAR PENULISAN HADITS
SEKITAR PENULISAN HADITS
Pengetahuan orang arab tentang tulis menulis sebelum Islam
Kita tidak berani mengatakan bahwa sebelum Islam bangsa Arab tidak
mengerti tulis menulis. Satu hal yang tidak dapat disangsikan, bahwa bagian
utara jazirah Arab sudah mengenal baca tulis. Makkah sebagai kota perdagangan
menjadi saksi adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Predikat
ummiyyin kepada bangsa Arab dalam Alqur’an tidak menafikan pengetahuan baca
tulis mereka.
Sebab-sebab sedikitnya penulisan di masa Rasulullah
Pengetahuan tulis menulis di Makkah lebih banyak ketimbang yang ada
di Madinah, hal ini dibuktikan dengan tindakan Nabi yang mengizinkan kafir
Makkah yang tertawan dalam perang badar untuk menebus diri dengan mengajarkan
baca tulis kepada 10 orang anak Madinah. Bukti lain para penulis wahyu dimasa
Nabi jumlahnya mencapai 40 orang dan umumnya mereka orang Makkah.
Catatan pada masa Rasulullah
Hal yang pasti adalah sebagian sahabat sempat menulis hadits dimasa
hidup Rosul, diantara mereka ada yang menulis dengan izin khusus Rosul dan pada
tahun-tahun terakhir kehidupannya beliau
memberi izin kepada siapa saja yang ingin dan sanggup melakukan pencatatan
hadits. Abdullah bin Amr bin Ash dari sumber Nabi sendiri yang memuat 1000
hadits. Sekalipun shohifah tulisan Abdullah bin Amr tidak kita temui akan
tetapi isinya telah sampai kepada kita krena terpelihara dalam musnad Imam
Ahmad, dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa separuh dari isinya adalah
merupakan bukti sejarah paling otentik. Pada masa sahabat Nabi tersebae
shohifah yang memuat masalah penting yang penulisannya diperintah Nabi pada
tahun 1 hijriyah. Shhihifah itu menyerupai undang-undang yang baru dibangun di
Madinah, shohifah itu berisi hak-hak kaum muhajirin, anshor, yahudi dan orang
Arab Madinah.
PASAL KETIGA
WARNA KEDAERAHAN DALAM PERKEMBANGAN HADITS
WARNA KEDAERAHAN DALAM PERKEMBANGAN HADITS
Para sahabat mengutip hadits dari mulut ke mulut sampai pada masa
tabiin. Pada mulanya hadits berisi kedaerahan pertama kalinya hadits muncul di Madinah.
Penduduk lain yang beribadah haji menyempatkan singgah ke Madinah untuk
mendengar langsung hadits dari mulut penduduknya, yakni ulama` Madinah yang
terpercaya dan cermat. Pada akhirnya banyak hadits yang bersifat kedaerahan,
misalnya hadits yang diriwayatkan sendiri oleh penduduk Bashro dan mereka mengklaim
sebagai hadits penduduknya.
Perjalanan Pencari Hadits
Para perawi hadis berkelana jauh dan sudah menjadi dambaan mereka, sebab
keyakinannya untuk mendapatkan hadits melalui pengajaran langsung akan lebih efektif dan mengakar. Pencarian
secara langsung lewat lisan di mulai pada pertama abad hijriyah, misalnya yang
dilakukan Ad-Dardak ia berkata andaikan aku kesulitan memahami ayat dari
kitabullah dan ada seseorang yang mampu walaupun ia berada di Dirk Al Ghimad
(lima hari perjalanan dari mekah) suatu
tempat di tepi pantai tentu aku akan pergi kesana.
Perjalanan mencari
hadits berbeda-beda sesuai dengan pelakunya, ada yang menempuh jalan kaki, ada
yang mulai usia lima belas sampai dua puluh tahun, ada yang perjalanannya terus
jauh hanya semata-mata mencari hadits. Mereka ini disebut sebagai pengembara
atau pengelana hadits dan pantaslah ia mendapatkan penghargaan sepanjang zaman.
Bahkan seorang orentialis Goldziher ingkar akan pemberitaan kaum muslimin
tentang hadits akan tetapi ia terpaksa membenarkan pengakuannya akan jerih payah
pengembara yang tidak mengada -ngada dan berlebihan.
Perjalanan untuk menyatukan nas dan tasyrik
Perjalanan para pencari hadits bisa menyatukan umat islam di
seluruh penjuru dunia, paling tidak bisa menyatukan nash dan tasyrik, asal
riwayatnya berbeda-beda dari tiap- tiap daerah pada gilirannya lebur dalam satu
acuan. Contoh hadits yang berbunyi; “Sesungguhnya segala amal itu harus disertai
dengan niat dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan sesuatu itu dari niatnya”.
Imam bukhari menjadikan hadits ini sebagai pembuka kitab shohihnya, terkesan pula bahwa hadits
tersebut diriwayatkan banyak orang dan sesungguhnya hadits ini berasal langsung
dari Rosullulah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar diterima Al Qomah, diterima
Mahmud, diterima Yahya bin Sa’id, jadi hadits ini tidak mutawatir karena Umar
hanya meriwayatkan sendirian lebih- lebih hanya dikenal di Madinah.
Dengan demikian hadits tersebut merupakan bukti kongkrit perjalanan mencari hadits
berpengaruh bagi penyatuan nash (teks), karena itu dalam kitab shohih
banyak ditemukan riwayat yang hampir
serupa mengenai satu topik dikarenakan para rowi saling bertemu dan saling
membincangkan masalah hadits- hadits rosullulah. Perjalanan menemukan hadits
juga berpengaruh dalam penyatuan tasyrik dan i`tikad, maka dari itu harus ada
upaya untuk menyatukan sanad karena mengenal seseorang adalah separuh dari
pengetahuannya.
Komersialisasi
hadits
Tidak sedikit pula para pengembara pencari hadits yang bertujuan
komersil seperti Ya’qub Ibrohim bin Sa`ad, ia hafal dengan hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah yang memuat sabda Rasullulah diantaranya yang
melarang mandi di air yang tenang tidak mengalir, bila air tersebut tercemar
najis. Ia mau menceritakan hadits ini apabila dibayar satu dinar. Abu Na`im al
Fadl ia seorang imam dan penghafal hadits yang terpercaya dalam menceritakan
hadits ia selalu mengaitkannya dengan harta, dan ia selalu minta bayaran dirham
yang sempurna .dan masih banyak contoh lainnya.
Para ulama` diberbagai zaman tetap berupaya mencegah komersialisasi
hadits dengan fatwanya yang berbunyi; Hai anak cucu adam ajarkanlah ilmu
dengan cuma-cuma sebagaimana kamu mendapatkannya dengan gratis pula!
Alasan mengkomersialkan hadits disebabkan pula dari resiko mendapatkannya
ketika dalam pengembaraan, walaupun tampak serakah barangkali tidak selamanya
mereka itu pendusta hadits atau pemalsu hadits. Tahun berganti tahun generasi
berubah menjadi generasi lain, cara mencari haditspun berubah hanya untuk
mendapatkan kemashuran semata atau supaya nama mereka tercantum di dalam sanad
tetapi mereka tidak banyak mengamalkan isinya hal ini terjadi pada abad ketigatiga
hijriyah dan berakhir pada abad kelima hijriyah.
Menghadapi yang mempergampang hadits.
Abu Bakar Ahmad dengan sebutan al Khotub al Bahgdadi (14632H)
adalah orang yang getol dan gigih melawan orang yang mempergampang hadits. Sikap
mempergampang hadits sengaja dilakukan orang-orang yang menamakan dirinya perawi
hadits mengumpulkan hadits tidak dengan cara lazim seperti yang dilakukan oleh
orang-orang terdahulu tidak pula dengan cara pandang orang-orang salaf, tidak
membedakan cara yang buruk dan cara yang baik ,tidak bersandar pada hukum-
hukum yang bersandar pada hadits. Mereka kebanyakan bersifat riya’ atau pamer
mereka menemukan hadits dari berbagai penjuru, akan tetapi menerima hadits dari orang yang diragukan
kejujurannya, bahkan ia tidak bisa membaca catatannya sendiri, tidak bisa
memilah-milah hadits musnad, maqtu’, mursal dan hadits mustahil. Mereka tidak
hafal nama guru yang menceritakan hadits dan suka membuat bid’ah dalam agamanya
sendiri dan lain sebagainya.
Sifat para wira`i perawi hadits mungkar dan ghorib tidak akan
berguna. Misalnya Mu`alal bin Hilal bukan lantaran karena kefasikannya atau kurang ingatannya. Sesungguhnya
ia seorang yang zuhud ahli ibadah setiap harinya sholat tidak kurang seratus
rakaat . Namun riwayat haditsnya ditolak hanyalah karena ia banyak meriwayatkan
hadits ghorib (ganjil). Sofyan Ats-Tsauri (16 H) berkata; “Jika para
perowi memakai kedustaan, kami memakai sejarah untuk menangkal mereka”.
Memang ada orang –orang yang mengembara sengaja mencari hadits untuk komersialisasi hadits atau mencari
popularitas saja, namun banyak juga yang melakukannya hanya karena mencari
keridhoan Allah dan sunnah Rosul yang sangat luas.
PASAL KEEMPAT
PERIODE HADITS DAN GELAR-GELAR PARA AHLI HADITS
PERIODE HADITS DAN GELAR-GELAR PARA AHLI HADITS
Pada abad keenam Hijriyah, kehidupan islam kelihatan agak lesu
karena melemahnya kegiatan pencarian hadis. Pada abad keenam itu, untuk untuk
pertama kali berdiri madrasah hadis atas prakarsa Nuruddin Mahmud bin Abu Sa’id
Zanki (569 H). Yang namanya kemudian diabadikan dengan mendirikan Madrasah
An-Nuriyah du Damaskus, salah seorang guru di madrasah tersebut.
Puluhan tahun berikutnya, di Kairo berdiri pula madrasah hadis atas
prakarsa penguasa Al-Kamil Nashiruddin. Empat tahun setelah itu, di Damaskus
berdiri lagi madrasah Al-Asyrafiyah pada tahun 626 Hijriyah. Di Damaskus juga
berdiri beberapa madrasah hadis lagi, akan tetapi pengelolaanya tampak tidak
serius, sehingga tidak heran jika usianya tidak bertahan lama.
Gelar-gelar
Ahli Hadits
Tiga gelar yang paling terkenal yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya ialah:
Tiga gelar yang paling terkenal yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya ialah:
1.
Al-musnid
ialah: orang yang meriwayatkan hadis sekalian dengan isnadnya, baik ia berilmu
atau sekedar meriwayatkannya saja.
2.
Al-muhdits
ialah: lebih mengetahui berbagai sanad dan illat, nama-nama tokoh dan hadis
yang ‘ali seta yang nazil. Disamping itu ia juga hafal sejumlah besar matan,
mengenai kitab-kitab yang enam. Dan sanggup menghimpun seribu sebagian hadis.
3.
Al-hafizh
ialah: dia mengetahui dngan rinci sunnah-sunnah Rasulullah, dapat membedakan
sanad-sanadnya, dapat mempertahankan setiap kesepakatan ahli ma’rifat akan
keabsahan suatu hadis dan juga yang mereka perselisihkan untuk diijtihati,
dapat mengenali perbedaan setiap ucapan mereka.
Riwayat Hadits dan Hafalan
Kelompok hafizh lebih dihargai karena mereka sangat
bersungguh-sungguh meriwayatkan hadis baik dengan lafadh maupun nash. Mereka
amat berhati-hati sampai kesoal yang paling kecil, apapun yang mereka terima
dari gurunya tidak berani mereka ubah sedikit pun. Di samping itu mereka juga
berpedoman pada ajaran Nabi kepada para sahabat
agar mereka berpagang teguh pada sabda Nabi seperti apa adanya. Oleh sebab
itulah kebanyakan sahabat lebih mengutamakan riwayat dengan lafadh.
Pada masa tabi’in dan angkatan sesudahnya, sebagian besar perawi
hadis menyampaikan riwayat dengan lafazh dan nas persis sama seperti yang di
ucapkan Nabi sekalipun ada diantaranya yang berpendapat tidak apa-apa
meriwayatkan menurut makna saja. Ada ulama yang memperbolehkan riwayat hadis
berdasarkan makna, yang untuk itu mereka menetukan beberapa persyaratan,
diantaranya, perawinya haruslah seorang yang ahli ilmu nahwu, sharaf, dan ilmu
bahasa, harus mengerti konotasi-konotasi lafazh dan maksud-maksudnya,harus
memahami perbedaan-perbedaan dan mampu menyampaikan hadis dengan tepat.
Mengingat bahasa-bahasa arab itu beragam dan bercabang-cabang,
menguasai dan mengetahuinya dengan cermat perbedaan lafazh dan konotasinya
adalah nyaris mustahil. Soalnya, setiap orang sampai zaman kita sekarang ini
telah mengubah apa yang dia kutip, dan mengganti huruf yang lain semaunya
sendiri, sehinnga secara keseluruhan ia keluar dari hadits. Berbeda halnya dengan
para sahabat, sesungguhnya mereka memiliki dua hal utama sekaligus. Pertama,
kefasihan lidah dan kefasihan kata-kata, mengingat perangai mereka adalah arab
dan bahasa mereka adalah cermin tabiat serta pekertinya. Kedua, karena mereka
menyaksikan sendiri sabda dan perbuatan Nabi. Persaksian itulah yang secara
keseluruhan dapat mendatangkan faedah dan memenuhi semua sasaran.
Para perawi umumnya cenderung menyampaikan hadis secara utuh
berikut seluruh lafaznya. Menurut mereka, hal itu termasuk dalam upaya
memperhatikan lafaz Nabi. Hanya memang ada sejumlah ulama yang cenderung
bersikap menggampangkan dalam meringkas hadis. Mereka dengan seenaknya membuang
atau memotong sesuatu bagian. Sikap menggampangkan dalam penyampaian hadits
adalah skibat logis dari adanya dua hal. Pertama, berpangkal dari sikap
sejumlah ulama yang ingin diperbolehkannya penyampaian hadits dengan makna.
Kedua, berpangkal pada kebolehan meringkas dan memotong hadits yang di
riwayatkannya. Para ulama yang belakangan pun merasa tidak perlu melakukan
lawatan pencarian hadits yang penuh kesulitan dan resiko. Mereka kini juga
dibenarkan meriwayatkan hadits yang mereka dapatkan dari kitab-kitab, baik yang
pernah dilontarkan langsung oleh pemilik–pemiliknya atau tidak.
PASAL KELIMA
MENANGGUNG HADITS DAN BENTUK-BENTUKNYA
MENANGGUNG HADITS DAN BENTUK-BENTUKNYA
1.
Mendengar
Mendengar sesungguhnya bentuk yang paling tinggi dan paling kuat. Hanya saja kita harus melihatnya secara khusus, dari sudut pandang para ahli hadis berikut pengertian dan istilah-istilah yang mereka pakai. Akan tetapi para kritikus hadis bersikap sangat selektif, mereka menolak segala yang masih kabur. Kata mereka “ Sebaiknya dinyatakan secara tegas bagaimana wujud mendengar itu sendiri.”
Mendengar sesungguhnya bentuk yang paling tinggi dan paling kuat. Hanya saja kita harus melihatnya secara khusus, dari sudut pandang para ahli hadis berikut pengertian dan istilah-istilah yang mereka pakai. Akan tetapi para kritikus hadis bersikap sangat selektif, mereka menolak segala yang masih kabur. Kata mereka “ Sebaiknya dinyatakan secara tegas bagaimana wujud mendengar itu sendiri.”
2.
Membaca
Yang dimaksud disini adalah kegiatan membaca seorang murid didepan gurunya, baik secara hafalan maupun dengan melihat sebuah kitab. Apabila bacaannya bukan hafalan atau tidak pula dengan membaca dari kitab melinkan dengan mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut di isyaratkan harus hafal membacanya.
Yang dimaksud disini adalah kegiatan membaca seorang murid didepan gurunya, baik secara hafalan maupun dengan melihat sebuah kitab. Apabila bacaannya bukan hafalan atau tidak pula dengan membaca dari kitab melinkan dengan mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut di isyaratkan harus hafal membacanya.
3.
Ijazah
Pada dasarnya ijazah ialah ucapan lisan seorang guru yang disampaikan dalam bahasa yang tegas kepada muridnya. Bila dilakukan secara tertulis tanpa diucapkan, tidak diperbolehkan oleh sejumlah ulama yang berhalauan keras. Kekuatan ijazah , bahkan dalam bentuk yang bisa terima
Pada dasarnya ijazah ialah ucapan lisan seorang guru yang disampaikan dalam bahasa yang tegas kepada muridnya. Bila dilakukan secara tertulis tanpa diucapkan, tidak diperbolehkan oleh sejumlah ulama yang berhalauan keras. Kekuatan ijazah , bahkan dalam bentuk yang bisa terima
4.
Memberi
Ialah tindakan memberi sebuah kitab atau sebuah hadits tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan . terdiri dari beberapa bentuk yang paling tinggi dan yang paling kuat ialah pemberian sebuah kitab atau sebuah hadis tertulis dari seorang gurunya. Di samping itu ada lagi bentuk yang lain. Yaitu seorang murid meminta kepada gurunya agar memberinya sebuah kitab atau tulisan yang di penuhi oleh sang guru tanpa melihat, meneliti, atau membandingkannya terlebih dahulu.
Ialah tindakan memberi sebuah kitab atau sebuah hadits tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan . terdiri dari beberapa bentuk yang paling tinggi dan yang paling kuat ialah pemberian sebuah kitab atau sebuah hadis tertulis dari seorang gurunya. Di samping itu ada lagi bentuk yang lain. Yaitu seorang murid meminta kepada gurunya agar memberinya sebuah kitab atau tulisan yang di penuhi oleh sang guru tanpa melihat, meneliti, atau membandingkannya terlebih dahulu.
5.
Menulis
Beberapa ulama berpendapat bahwa menulis dengan ijazah lebih tinggi bahkan dari mendengar sendiri secara langsung sekalipun. Orang yang menyampaikan hadis yang di dapat lewat penulisan , sedapat mungkin menjauhi penggunaan ungkapan “ aku mendengar “ karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
Beberapa ulama berpendapat bahwa menulis dengan ijazah lebih tinggi bahkan dari mendengar sendiri secara langsung sekalipun. Orang yang menyampaikan hadis yang di dapat lewat penulisan , sedapat mungkin menjauhi penggunaan ungkapan “ aku mendengar “ karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
6.
Memberitahukan
Ialah tindakan seorang yang mengabari muridnya bahwa kitab atau hadis ini termasuk riwayat darinya atau dari yang di dengarnya. Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu bentuk menanggung hadis sepanjang kredibilitas gurunya bisa dipercaya.
Ialah tindakan seorang yang mengabari muridnya bahwa kitab atau hadis ini termasuk riwayat darinya atau dari yang di dengarnya. Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu bentuk menanggung hadis sepanjang kredibilitas gurunya bisa dipercaya.
7.
Wasiat
Ialah penegasan seorang guru sewaktu hendak bepergian atau menghadapi saat-saat kematiannya, yaitu berwasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkan. Sebagian ulama salaf (kuno) memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan kitab dari orang yang mewasiatkannya. menurut mereka wasiat itu sama dengan cara pemberitahuan dan termasuk jenis pemberian. Orang yang mendapat wasiat ketika menyampaikan riwayat wajib terikat dalam penyusunan kata-kata si pemberi wasiat, dalam arti dia tidak boleh menambahi maupun menguranginya. Sebab wasiat ilmu pada dasarnya sama dengan wasiat harta. Jadi, yang diwasiatkan pun haruslah jelas jumlahnya atau keadaannya. Semuanya harus sama dengan pernyataan yang diberikan oleh sang guru yang mewasiatkan.
Ialah penegasan seorang guru sewaktu hendak bepergian atau menghadapi saat-saat kematiannya, yaitu berwasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkan. Sebagian ulama salaf (kuno) memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan kitab dari orang yang mewasiatkannya. menurut mereka wasiat itu sama dengan cara pemberitahuan dan termasuk jenis pemberian. Orang yang mendapat wasiat ketika menyampaikan riwayat wajib terikat dalam penyusunan kata-kata si pemberi wasiat, dalam arti dia tidak boleh menambahi maupun menguranginya. Sebab wasiat ilmu pada dasarnya sama dengan wasiat harta. Jadi, yang diwasiatkan pun haruslah jelas jumlahnya atau keadaannya. Semuanya harus sama dengan pernyataan yang diberikan oleh sang guru yang mewasiatkan.
8.
Penemuan
Para ulama ahli hadis menjadikanya suatu metode pengambilan ilmu dari shahifah bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah (memberikan). Cara penemuan ini, jika difahami dengan benar, jelas merupakan salah satu bentuk yang sangat bernilai. Semua yang kita kutip dari kitab-kitab hadis shahih adalah dari jenis “ penemuan “. Sedangkan dewasa ini tersedia sarana yang cukup untuk mendorong semangat penghafalan hadits dan bersikap cermat dalam periwayatannya. Celakanya, tersedianya percetakan seperti memberi hambatan bagi penghafalan dan pemeliharaan hadis.
Para ulama ahli hadis menjadikanya suatu metode pengambilan ilmu dari shahifah bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah (memberikan). Cara penemuan ini, jika difahami dengan benar, jelas merupakan salah satu bentuk yang sangat bernilai. Semua yang kita kutip dari kitab-kitab hadis shahih adalah dari jenis “ penemuan “. Sedangkan dewasa ini tersedia sarana yang cukup untuk mendorong semangat penghafalan hadits dan bersikap cermat dalam periwayatannya. Celakanya, tersedianya percetakan seperti memberi hambatan bagi penghafalan dan pemeliharaan hadis.
Bentuk-bentuk penyampaian
Menyampaikan berarti meriwayatkan hadis kepada murud. Yang menerima
penyampaian adalah orang yang menanggung hadis dari orang lain di atas
pundaknya. Seseorang dalam waktu sama bisa saja menjadi orang yang menanggung
sekaligus menyampaikan, dengan pertimbangan selain menjadi guru ia sekaligus
menjadi murid.
Berdasarkan pertimbangan tersebut , fungsi penyampaian hadis
sebetulnya adalah penjabaran dan perpanjangan saja. Bagi seseorang yang mampu
menggunakan salah satu dari delapan bentuk tersebut di atas, dia berkewajiban
untuk menyampaikan apa yang ditanggungnya dengan memakai salah satu dari bentuk
itu, jika dia masih dianggap layak melakukannya.
arifinahmad1035@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar