Senin, 05 November 2012

SEPUTAR HADITS


Di Postkan Oleh : Arifin
Mahasiswa STAI AL QOLAM
Gondanglegi Malang
05-11-2012, 11.55

PASAL PERTAMA
HADITS, SUNNAH DAN ISTILAH-ISTILAH LAIN

Hadits dan Sunnah
Hadits dan Sunnah memiliki pengertian yang sama, masing-masing berkaitan dengan ucapan, perbuatan atau penetapan Nabi SAW. Hadits sebagaimana tinjaun Abdul Baqa’ adalah kalimat isim(kata benda) dari tahdits yang berarti penbicaraan, kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Sunnah  pada dasarnya tidak sama dengan Hadits. Mengikuti arti bahasanya, Sunnah adalah jalan keagamaan yang bditempuh oleh Nabi SAW. Tercermin pada perilakunya yang suci. Apabila Hadits bersifat umum, meliputi sabdadan perbuatan Nabi, maka Sunnah berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.
Madinah Al-Munawwarah seperti yang kita ketahui adalah kota yang paling bersemangat membela sunnah Nabi, sampai-sampai mendapat mendapat sebutan Dar As Sunnah(negeri sunnah). Di kota suci inilah muncul pertama kali pengggggertian As Sunnah, menemukan bentuknya yang bersifat sosial politik,  disamping bentuk keagamaan yang fundamental.

Khabar dan Atsar
Dibanding dengan Sunnah, khabar lebih layak menjadi sinonim dari Hadits. Sebab tahdits(pembicaraan) artinya tidak lain adalah ikhbar(pemberitaan). Hadits Nabi adalah berita yang disandarkan pada beliau, hanya saja nama ikhbari yang digunakan untuk menyebut orang yang menekuni tarikh-tarikh dan semisalnya, sedangkan muhaddits diberikan pada orang yang secara khhusus menekuni Sunnah. Antara khabar dan Hadits ada pengertian umum dan khusus, setiap Hadits adalah Khabar tetapi tidak sebaliknya.
Atsar searti dengan khabar, sunnah Dan hadits. Tidak ada alasan mengkhususkan atsar hanya untuk apa yang disandarkan kepada sahabat(mauquf)  atau tabi’in(maqthu’). Sebab mauquf ataupun maqthu’ itupun riwayat, seperti halnya apa yang disandarkan pada Nabi SAW. (marfu’). Hnya saja, yang mauquf dinisbatkan kepada sahabat, maqthu’ kepada tabi’in dan marfu’ kepada Nabi SAW.

Hadits Qudsi
Kepada sahabatnya kadang Nabi SAW. Memberikan nasehat yang beliau terima dari Tuhan. Tetapi bukan wahyu yang kemudian disebut Alqur’an, bukan pula ucapan yang disandarkam kepada beliau yang kemudian disebut hadits, melainkan hadits-hadits yang oleh Nabi lebih suka dinyatakan ungkapan yang menunjukkannya sebagai firman Allah. Itulah hadits qudsi yang disebut juga hadits ilahi atau robbani.

PASAL KEDUA
SEKITAR PENULISAN HADITS
Pengetahuan orang arab tentang tulis menulis sebelum Islam
Kita tidak berani mengatakan bahwa sebelum Islam bangsa Arab tidak mengerti tulis menulis. Satu hal yang tidak dapat disangsikan, bahwa bagian utara jazirah Arab sudah mengenal baca tulis. Makkah sebagai kota perdagangan menjadi saksi adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis. Predikat ummiyyin kepada bangsa Arab dalam Alqur’an tidak menafikan pengetahuan baca tulis mereka.

Sebab-sebab sedikitnya penulisan di masa Rasulullah
Pengetahuan tulis menulis di Makkah lebih banyak ketimbang yang ada di Madinah, hal ini dibuktikan dengan tindakan Nabi yang mengizinkan kafir Makkah yang tertawan dalam perang badar untuk menebus diri dengan mengajarkan baca tulis kepada 10 orang anak Madinah. Bukti lain para penulis wahyu dimasa Nabi jumlahnya mencapai 40 orang dan umumnya mereka orang Makkah.

Catatan pada masa Rasulullah
Hal yang pasti adalah sebagian sahabat sempat menulis hadits dimasa hidup Rosul, diantara mereka ada yang menulis dengan izin khusus Rosul dan pada tahun-tahun terakhir kehidupannya  beliau memberi izin kepada siapa saja yang ingin dan sanggup melakukan pencatatan hadits. Abdullah bin Amr bin Ash dari sumber Nabi sendiri yang memuat 1000 hadits. Sekalipun shohifah tulisan Abdullah bin Amr tidak kita temui akan tetapi isinya telah sampai kepada kita krena terpelihara dalam musnad Imam Ahmad, dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa separuh dari isinya adalah merupakan bukti sejarah paling otentik. Pada masa sahabat Nabi tersebae shohifah yang memuat masalah penting yang penulisannya diperintah Nabi pada tahun 1 hijriyah. Shhihifah itu menyerupai undang-undang yang baru dibangun di Madinah, shohifah itu berisi hak-hak kaum muhajirin, anshor, yahudi dan orang Arab Madinah.

PASAL KETIGA
WARNA KEDAERAHAN DALAM PERKEMBANGAN HADITS
Para sahabat mengutip hadits dari mulut ke mulut sampai pada masa tabiin. Pada mulanya hadits berisi kedaerahan pertama kalinya hadits muncul di Madinah. Penduduk lain yang beribadah haji menyempatkan singgah ke Madinah untuk mendengar langsung hadits dari mulut penduduknya, yakni ulama` Madinah yang terpercaya dan cermat. Pada akhirnya banyak hadits yang bersifat kedaerahan, misalnya hadits yang diriwayatkan sendiri oleh penduduk Bashro dan mereka mengklaim sebagai hadits penduduknya.

Perjalanan Pencari Hadits
Para perawi hadis berkelana jauh dan sudah menjadi dambaan mereka, sebab keyakinannya untuk mendapatkan hadits melalui pengajaran  langsung akan lebih efektif dan mengakar. Pencarian secara langsung lewat lisan di mulai pada pertama abad hijriyah, misalnya yang dilakukan Ad-Dardak ia berkata andaikan aku kesulitan memahami ayat dari kitabullah dan ada seseorang yang mampu walaupun ia berada di Dirk Al Ghimad (lima hari perjalanan dari mekah) suatu  tempat di tepi pantai tentu aku akan pergi kesana.
            Perjalanan mencari hadits berbeda-beda sesuai dengan pelakunya, ada yang menempuh jalan kaki, ada yang mulai usia lima belas sampai dua puluh tahun, ada yang perjalanannya terus jauh hanya semata-mata mencari hadits. Mereka ini disebut sebagai pengembara atau pengelana hadits dan pantaslah ia mendapatkan penghargaan sepanjang zaman. Bahkan seorang orentialis Goldziher ingkar akan pemberitaan kaum muslimin tentang hadits akan tetapi ia terpaksa membenarkan pengakuannya akan jerih payah pengembara yang tidak mengada -ngada dan berlebihan.
 
Perjalanan untuk menyatukan nas dan tasyrik
Perjalanan para pencari hadits bisa menyatukan umat islam di seluruh penjuru dunia, paling tidak bisa menyatukan nash dan tasyrik, asal riwayatnya berbeda-beda dari tiap- tiap daerah pada gilirannya lebur dalam satu acuan. Contoh hadits yang berbunyi; “Sesungguhnya segala amal itu harus disertai dengan niat dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan sesuatu itu dari niatnya”. Imam bukhari menjadikan hadits ini sebagai pembuka  kitab shohihnya, terkesan pula bahwa hadits tersebut diriwayatkan banyak orang dan sesungguhnya hadits ini berasal langsung dari Rosullulah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Umar diterima Al Qomah, diterima Mahmud, diterima Yahya bin Sa’id, jadi hadits ini tidak mutawatir karena Umar hanya meriwayatkan sendirian lebih- lebih hanya dikenal di Madinah.
Dengan demikian hadits tersebut merupakan  bukti kongkrit perjalanan mencari hadits berpengaruh bagi penyatuan nash (teks), karena itu dalam kitab shohih banyak ditemukan  riwayat yang hampir serupa mengenai satu topik dikarenakan para rowi saling bertemu dan saling membincangkan masalah hadits- hadits rosullulah. Perjalanan menemukan hadits juga berpengaruh dalam penyatuan tasyrik dan i`tikad, maka dari itu harus ada upaya untuk menyatukan sanad karena mengenal seseorang adalah separuh dari pengetahuannya.

Komersialisasi hadits
Tidak sedikit pula para pengembara pencari hadits yang bertujuan komersil seperti Ya’qub Ibrohim bin Sa`ad, ia hafal dengan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah yang memuat sabda Rasullulah diantaranya yang melarang mandi di air yang tenang tidak mengalir, bila air tersebut tercemar najis. Ia mau menceritakan hadits ini apabila dibayar satu dinar. Abu Na`im al Fadl ia seorang imam dan penghafal hadits yang terpercaya dalam menceritakan hadits ia selalu mengaitkannya dengan harta, dan ia selalu minta bayaran dirham yang sempurna .dan masih banyak contoh lainnya.
Para ulama` diberbagai zaman tetap berupaya mencegah komersialisasi hadits dengan fatwanya yang berbunyi; Hai anak cucu adam ajarkanlah ilmu dengan cuma-cuma sebagaimana kamu mendapatkannya dengan gratis pula! Alasan mengkomersialkan hadits disebabkan pula dari resiko mendapatkannya ketika dalam pengembaraan, walaupun tampak serakah barangkali tidak selamanya mereka itu pendusta hadits atau pemalsu hadits. Tahun berganti tahun generasi berubah menjadi generasi lain, cara mencari haditspun berubah hanya untuk mendapatkan kemashuran semata atau supaya nama mereka tercantum di dalam sanad tetapi mereka tidak banyak mengamalkan isinya hal ini terjadi pada abad ketigatiga hijriyah dan berakhir pada abad kelima hijriyah.

Menghadapi yang mempergampang hadits.
Abu Bakar Ahmad dengan sebutan al Khotub al Bahgdadi (14632H) adalah orang yang getol dan gigih melawan orang yang mempergampang hadits. Sikap mempergampang hadits sengaja dilakukan orang-orang yang menamakan dirinya perawi hadits mengumpulkan hadits tidak dengan cara lazim seperti yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu tidak pula dengan cara pandang orang-orang salaf, tidak membedakan cara yang buruk dan cara yang baik ,tidak bersandar pada hukum- hukum yang bersandar pada hadits. Mereka kebanyakan bersifat riya’ atau pamer mereka menemukan hadits dari berbagai penjuru, akan tetapi  menerima hadits dari orang yang diragukan kejujurannya, bahkan ia tidak bisa membaca catatannya sendiri, tidak bisa memilah-milah hadits musnad, maqtu’, mursal dan hadits mustahil. Mereka tidak hafal nama guru yang menceritakan hadits dan suka membuat bid’ah dalam agamanya sendiri dan lain  sebagainya.
Sifat para wira`i perawi hadits mungkar dan ghorib tidak akan berguna. Misalnya Mu`alal bin Hilal bukan lantaran  karena kefasikannya atau kurang ingatannya. Sesungguhnya ia seorang yang zuhud ahli ibadah setiap harinya sholat tidak kurang seratus rakaat . Namun riwayat haditsnya ditolak hanyalah karena ia banyak meriwayatkan hadits ghorib (ganjil). Sofyan Ats-Tsauri (16 H) berkata; “Jika para perowi memakai kedustaan, kami memakai sejarah untuk menangkal mereka”. Memang ada orang –orang yang mengembara sengaja mencari hadits  untuk komersialisasi hadits atau mencari popularitas saja, namun banyak juga yang melakukannya hanya karena mencari keridhoan Allah dan sunnah Rosul yang sangat luas.

PASAL KEEMPAT
PERIODE HADITS DAN GELAR-GELAR PARA AHLI HADITS
Pada abad keenam Hijriyah, kehidupan islam kelihatan agak lesu karena melemahnya kegiatan pencarian hadis. Pada abad keenam itu, untuk untuk pertama kali berdiri madrasah hadis atas prakarsa Nuruddin Mahmud bin Abu Sa’id Zanki (569 H). Yang namanya kemudian diabadikan dengan mendirikan Madrasah An-Nuriyah du Damaskus, salah seorang guru di madrasah tersebut.
Puluhan tahun berikutnya, di Kairo berdiri pula madrasah hadis atas prakarsa penguasa Al-Kamil Nashiruddin. Empat tahun setelah itu, di Damaskus berdiri lagi madrasah Al-Asyrafiyah pada tahun 626 Hijriyah. Di Damaskus juga berdiri beberapa madrasah hadis lagi, akan tetapi pengelolaanya tampak tidak serius, sehingga tidak heran jika usianya tidak bertahan lama.

Gelar-gelar Ahli Hadits
Tiga gelar yang paling terkenal yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya ialah:
1.      Al-musnid ialah: orang yang meriwayatkan hadis sekalian dengan isnadnya, baik ia berilmu atau sekedar meriwayatkannya saja.
2.      Al-muhdits ialah: lebih mengetahui berbagai sanad dan illat, nama-nama tokoh dan hadis yang ‘ali seta yang nazil. Disamping itu ia juga hafal sejumlah besar matan, mengenai kitab-kitab yang enam. Dan sanggup menghimpun seribu sebagian hadis.
3.      Al-hafizh ialah: dia mengetahui dngan rinci sunnah-sunnah Rasulullah, dapat membedakan sanad-sanadnya, dapat mempertahankan setiap kesepakatan ahli ma’rifat akan keabsahan suatu hadis dan juga yang mereka perselisihkan untuk diijtihati, dapat mengenali perbedaan setiap ucapan mereka.

Riwayat Hadits dan Hafalan
Kelompok hafizh lebih dihargai karena mereka sangat bersungguh-sungguh meriwayatkan hadis baik dengan lafadh maupun nash. Mereka amat berhati-hati sampai kesoal yang paling kecil, apapun yang mereka terima dari gurunya tidak berani mereka ubah sedikit pun. Di samping itu mereka juga berpedoman pada ajaran Nabi kepada para sahabat  agar mereka berpagang teguh pada sabda Nabi seperti apa adanya. Oleh sebab itulah kebanyakan sahabat lebih mengutamakan riwayat dengan lafadh.
Pada masa tabi’in dan angkatan sesudahnya, sebagian besar perawi hadis menyampaikan riwayat dengan lafazh dan nas persis sama seperti yang di ucapkan Nabi sekalipun ada diantaranya yang berpendapat tidak apa-apa meriwayatkan menurut makna saja. Ada ulama yang memperbolehkan riwayat hadis berdasarkan makna, yang untuk itu mereka menetukan beberapa persyaratan, diantaranya, perawinya haruslah seorang yang ahli ilmu nahwu, sharaf, dan ilmu bahasa, harus mengerti konotasi-konotasi lafazh dan maksud-maksudnya,harus memahami perbedaan-perbedaan dan mampu menyampaikan hadis dengan tepat.
Mengingat bahasa-bahasa arab itu beragam dan bercabang-cabang, menguasai dan mengetahuinya dengan cermat perbedaan lafazh dan konotasinya adalah nyaris mustahil. Soalnya, setiap orang sampai zaman kita sekarang ini telah mengubah apa yang dia kutip, dan mengganti huruf yang lain semaunya sendiri, sehinnga secara keseluruhan ia keluar dari hadits. Berbeda halnya dengan para sahabat, sesungguhnya mereka memiliki dua hal utama sekaligus. Pertama, kefasihan lidah dan kefasihan kata-kata, mengingat perangai mereka adalah arab dan bahasa mereka adalah cermin tabiat serta pekertinya. Kedua, karena mereka menyaksikan sendiri sabda dan perbuatan Nabi. Persaksian itulah yang secara keseluruhan dapat mendatangkan faedah dan memenuhi semua sasaran.
Para perawi umumnya cenderung menyampaikan hadis secara utuh berikut seluruh lafaznya. Menurut mereka, hal itu termasuk dalam upaya memperhatikan lafaz Nabi. Hanya memang ada sejumlah ulama yang cenderung bersikap menggampangkan dalam meringkas hadis. Mereka dengan seenaknya membuang atau memotong sesuatu bagian. Sikap menggampangkan dalam penyampaian hadits adalah skibat logis dari adanya dua hal. Pertama, berpangkal dari sikap sejumlah ulama yang ingin diperbolehkannya penyampaian hadits dengan makna. Kedua, berpangkal pada kebolehan meringkas dan memotong hadits yang di riwayatkannya. Para ulama yang belakangan pun merasa tidak perlu melakukan lawatan pencarian hadits yang penuh kesulitan dan resiko. Mereka kini juga dibenarkan meriwayatkan hadits yang mereka dapatkan dari kitab-kitab, baik yang pernah dilontarkan langsung oleh pemilik–pemiliknya atau tidak.

PASAL KELIMA
MENANGGUNG HADITS DAN BENTUK-BENTUKNYA
1.    Mendengar
Mendengar sesungguhnya bentuk yang paling tinggi dan paling kuat. Hanya saja kita harus melihatnya secara khusus, dari sudut pandang para ahli hadis berikut pengertian dan istilah-istilah yang mereka pakai. Akan tetapi para kritikus hadis bersikap sangat selektif, mereka menolak segala yang masih kabur. Kata mereka “ Sebaiknya dinyatakan secara tegas bagaimana wujud mendengar itu sendiri.”
2.    Membaca
Yang dimaksud disini adalah kegiatan membaca seorang murid didepan gurunya, baik secara hafalan maupun dengan melihat sebuah kitab. Apabila bacaannya bukan hafalan atau tidak pula dengan membaca dari kitab melinkan dengan mendengar orang lain membaca di depan gurunya, maka untuk orang tersebut di isyaratkan harus hafal membacanya.
3.    Ijazah
Pada dasarnya ijazah ialah ucapan lisan seorang guru yang disampaikan dalam bahasa yang tegas kepada muridnya. Bila dilakukan secara tertulis tanpa diucapkan, tidak diperbolehkan oleh sejumlah ulama yang berhalauan keras. Kekuatan ijazah , bahkan dalam bentuk yang bisa terima 
4.    Memberi
Ialah tindakan memberi sebuah kitab atau sebuah hadits tertulis oleh seseorang supaya disampaikan dan diriwayatkan . terdiri dari beberapa bentuk yang paling tinggi dan yang paling kuat ialah pemberian sebuah kitab atau sebuah hadis tertulis dari seorang gurunya. Di samping itu ada lagi bentuk yang lain. Yaitu seorang murid meminta kepada gurunya agar memberinya sebuah kitab atau tulisan yang di penuhi oleh sang guru tanpa melihat, meneliti, atau membandingkannya terlebih dahulu.
5.    Menulis
Beberapa ulama berpendapat bahwa menulis dengan ijazah lebih tinggi bahkan dari mendengar sendiri secara langsung sekalipun. Orang yang menyampaikan hadis yang di dapat lewat penulisan , sedapat mungkin menjauhi penggunaan ungkapan “ aku mendengar “  karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
6.    Memberitahukan
Ialah tindakan seorang yang mengabari muridnya bahwa kitab atau hadis ini termasuk riwayat darinya atau dari yang di dengarnya. Mayoritas ulama memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu bentuk menanggung hadis sepanjang kredibilitas gurunya bisa dipercaya.
7.    Wasiat
Ialah penegasan seorang guru sewaktu hendak bepergian atau menghadapi saat-saat kematiannya, yaitu berwasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkan. Sebagian ulama salaf (kuno) memperbolehkan orang yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan kitab dari orang yang mewasiatkannya. menurut mereka wasiat itu sama dengan cara pemberitahuan dan termasuk jenis pemberian. Orang yang mendapat wasiat ketika menyampaikan riwayat wajib terikat dalam penyusunan kata-kata si pemberi wasiat, dalam arti dia tidak boleh menambahi maupun menguranginya. Sebab wasiat ilmu pada dasarnya sama dengan wasiat harta. Jadi, yang diwasiatkan pun haruslah jelas jumlahnya atau keadaannya. Semuanya harus sama dengan pernyataan yang diberikan oleh sang guru yang mewasiatkan.
8.    Penemuan
Para ulama ahli hadis menjadikanya suatu metode pengambilan ilmu dari shahifah bukan dengan cara mendengar, ijazah maupun munawalah (memberikan). Cara penemuan  ini, jika difahami dengan benar, jelas merupakan salah satu bentuk yang sangat bernilai. Semua yang kita kutip dari kitab-kitab hadis shahih adalah dari jenis “ penemuan “. Sedangkan dewasa ini tersedia sarana yang cukup untuk mendorong semangat penghafalan hadits dan bersikap cermat dalam periwayatannya. Celakanya, tersedianya percetakan seperti memberi hambatan bagi penghafalan dan pemeliharaan hadis.

Bentuk-bentuk penyampaian
Menyampaikan berarti meriwayatkan hadis kepada murud. Yang menerima penyampaian adalah orang yang menanggung hadis dari orang lain di atas pundaknya. Seseorang dalam waktu sama bisa saja menjadi orang yang menanggung sekaligus menyampaikan, dengan pertimbangan selain menjadi guru ia sekaligus menjadi murid.
Berdasarkan pertimbangan tersebut , fungsi penyampaian hadis sebetulnya adalah penjabaran dan perpanjangan saja. Bagi seseorang yang mampu menggunakan salah satu dari delapan bentuk tersebut di atas, dia berkewajiban untuk menyampaikan apa yang ditanggungnya dengan memakai salah satu dari bentuk itu, jika dia masih dianggap layak melakukannya.


arifinahmad1035@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar